Buat kamu yang suka banget nulis puisi, novel, atau apapun itu, kamu pasti pengen banget kalau karya itu bisa dibaca banyak orang. Kamu akan memiliki kebanggaan tersendiri ketika karyamu diapresiasi orang lain. Itu wajar, karena hak kekayaan intelektual itu memang tak mudah ketatnya persaingan di dunia penerbitan buku, tak jarang banyak penulis terpaksa mengubur karyanya di laci meja. Daripada frustasi, simak penerbit di bawah ini yang siap terbitkan naskahmu!1. Berdiri tahun 2014, Ellunar bisa jadi harapanmu! bulan yang akan memeluk mimpi-mimpi bumi, begitulah cita-cita Ellunar. Penerbit yang memiliki follower 20 ribuan lebih di Instagram ini selalu terbuka menerbitkan naskah dengan genre apa saja selama tidak ada unsur SARA dan plagiarisme. Karena Ellunar adalah penerbit indie, maka biaya penerbitan yang mereka tawarkan sebesar Rp400 ribu untuk 100 jangan salah budget segitu sudah termasuk semuanya, lho. Mulai dari cover buku keren, layout unik, dan ISBN. Bahkan bukumu akan dicetak 5 eksemplar. 2 buku untuk Perpustakaan Nasional syarat ISBN, 1 buku untuk simpanan penerbit, 2 buku untuk penulis gratis ongkos kirim. Royalti yang kamu dapatkan minimal 15% dari buku yang kamu masih ragu? Sudah banyak yang menerbitkan naskahnya bersama Ellunar!2. Belum berdiri setahun, jangan anggap sepele penerbit One Peach Media! Berdiri sejak Maret 2018, Penerbit One Peach Media sering dibanjiri penulis dari berbagai kalangan untuk membukukan naskahnya. One Peach Media menawarkan biaya penerbitan buku sebesar 400 ribu sama dengan Ellunar dan fasilitas yang sama testimoni beberapa penulis yang sudah menerbitkan bukunya di sini, One Peach Media memiliki kualitas cover dan isi buku premium alias seperti buku-buku yang ada di toko buku gramedia. Pelayanannya juga cepat dan Peach Media bahkan tak segan membantu para penulisnya untuk mempromosikan buku mereka di media sosial. Royalti yang kamu terima sebesar 10-25 persen dari setiap buku yang terjual. Asyik, kan?3. Memasuki 2 tahun berdiri, Stiletto Book juga bisa atasi kegalauanmu! Masih galau naskahmu ditolak penerbit mayor? Tenang, dunia belum berakhir. Selain sebagai penerbit mayor, Stiletto juga penerbit indie. Itu artinya Stiletto sangat welcome dengan penulis yang ingin sekali menerbitkan naskahnya bersama gak perlu nunggu berbulan-bulan ditambah harap-harap cemas naskahmu ditolak atau diterima. Stiletto Indie Book hadir untukmu tanpa proses seleksi. Mereka bersedia membukukan naskahmu baik itu fiksi ataupun non fiksi. Kamu tinggal memilih paket yang tersedia sesuai paket yang mereka tawarkan minimal Rp450 ribu. Harga ini sudah termasuk bukti terbit buatmu 2 eksemplar, konsultasi sampai buku terbit dan naskahmu juga akan di-proof sama itu, kamu juga diberikan panduan booklet untuk mempromosikan bukumu di sosial media. Royalti yang kamu dapatkan adalah 65 persen dari harga jual buku dikurangi biaya produksi. Lumayan, kan? Baca Juga Biar Makin Cerdas, 6 Buku Pengetahuan Umum Ini Wajib Kamu Baca 4. Penerbit Deepublish hadir memenuhi kebutuhan para pendidik Cocok banget buat para dosen atau guru. Ratusan penulis dari puluhan Institusi Pendidikan sudah menerbitkan buku ajar dan buku referensi bersama Deepublish. Cukup membayar biaya cetak buku, maka ini sudah sangat membantu buat para pendidik untuk proses penerbitkan buku ISBN, Cover Buku, Layout gak perlu bayar. Royalti yang didapat pun sekitar 15 persen dari harga jual buku yang penulis tentukan sendiri. Deepublish telah menerbitkan lebih dari 3000 naskah. Buku penulis juga akan dibantu dipromosikan di e-commerce para pendidik terbitkan buku sekarang juga demi bangsa yang lebih berwawasan dan cerdas!5. Naskahmu ditolak penerbit mayor melulu? Coba kirimkan aja ke penerbit Wahyu penulis memiliki ciri khas unik dalam menuangkan inspirasinya ke dalam sebuah buku. Fiksi-fiksi yang mereka tulis kadang terinspirasi dalam pengalaman hidup pribadi ataupun orang remaja Indonesia yang tidak pernah berhenti mengejar mimpinya menjadi penulis dan sangat ingin bukunya dipajang di toko buku gramedia. Selain Gramedia Pustaka Utama, Elexmedia, Inari, Bentang Pustaka, dan lain ada satu penerbit unik yang khusus menerbitkan buku fiksi dan non fiksi islami yang desain covernya begitu memesona dan memikat hati bagi para pembaca. Ya, Penerbit Wahyu Qolbu!Penerbit ini sering kali menerbitkan fiksi populer dan melahirkan penulis-penulis best seller di mana konten bukunya gak membosankan, alur cerita yang gak gampang ditebak dan punya pesan tersirat bagi pembacanya. Memang gak mudah menerbitkan buku di Wahyu Qolbu karena proses seleksi yang cukup kalau kamu memang penulis sejati, milikilah prinsip, "Niat baik pasti diberi jalan oleh Tuhan. Semua tergantung seberapa kuat tekad dan usaha seseorang." Bukankah naskah yang diterima atau ditolak hanyalah sebuah perjalanan?Jangan berharap lebih, sebelum berusaha lebih! Baca Juga Siapa Sangka, 5 Penulis Dunia Ini Naskahnya Dulu Berkali-kali Ditolak Penerbit IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
Padamasa ini, penerbit indie sudah bertebaran seperti wisata kuliner saja di tiap kota. Namun, apakah kualitasnya dapat dikatakan bagus? Belum tentu. Penerbit indie terbaik yang akan aku rekomendasikan adalah AE Publishing, sebuah self publishing yang beralamat di Jalan Banurejo 17 Kepanjen, Malang. Ada beberapa hal yang saya ketahuiWell, kali ini saya mau bahas soal penerbitan buku ah. Sekali-sekali boleh ya, sekadar berbagi juga hal yang saya tahu dari kerjaan saya sehari-hari. Barangkali juga, ada yang sekarang lagi mau nerbitin buku secara indie Saya sudah menulis 25 buku. 4 buku di antaranya adalah buku yang memuat ilustrasi saya di dalamnya. 15 buku di antaranya adalah buku antologi. Dan, 18 dari 25 buku tersebut adalah buku indie, terbit secara mandiri. Dengan jumlah yang segitu, plus sekarang kantor penerbitan tempat saya kerja juga ikut merambah dunia buku indie, maka saya anggap, saya lumayan cukup tahu soal penerbitan indie. Well, masih belum seberapa memang. But I'm on process. Beberapa kali saya menjumpai masalah soal penerbitan indie, terutama yang melibatkan para penulis baru yang mimpi-mimpinya masih begitu tinggi dan liar, dengan harapan yang begitu membuncah plus imajinasi yang kelewat mewah. Well, saya dulu juga begitu, saat memulainya. Saya punya angan menjadi penulis super hebat seperti Ika Natassa, Dee Lestari atau siapa pun yang pernah mulai usahanya dari menulis buku dan menerbitkannya secara indie dan kini meraih kesuksesan yang luar biasa. Ditambah dengan bacaan-bacaan artikel pemotivasi penulis indie, terutama dari media online luar negeri, yang mencekoki saya dan memberi gambaran, betapa menulis indie itu adalah 'pekerjaan yang wah!'. Namun, seiring waktu, saya pun belajar. Bahwa ada realita di depan mata yang nggak seindah angan. Nggak, saya bukannya mau mematahkan semangat para penulis buku indie yang sedang berusaha meraih mimpi. Tapi, saya sekadar menyajikan beberapa fakta yang harus kamu hadapi, yang pengin sukses sebagai penulis melalui jalur indie. Coba baca juga artikel saya soal beda penerbitan mayor dan penerbitan indie ini ya, sebelum kamu lanjut. Beberapa fakta mengenai penerbitan indie yang harus kamu tahu Tidak salah memang kalau kita punya mimpi. Tapi bagaimanapun, kita mesti realistis, dan jangan berharap terlalu tinggi. Karena kalau harapannya terlalu tinggi, you would hurt yourself. 1. Tanyakan motivasimu sendiri Saya pernah terlalu pengin punya buku sendiri. Hingga kemudian, dengan cepat saya berusaha menyelesaikannya. Kebetulan buku pertama saya itu adalah kumpulan flashfiction, yang saya anggap cerita-cerita di dalamnya sudah super banget waktu itu. Pokoknya keren abis, pikir saya. Sekarang? Saya rada malu bacanya *tutup muka* Ya ampun. Kayak gini loh, saking penginnya saya punya buku! Hingga saya melupakan banyak hal. Saya waktu itu sadar, bahwa flashfiction memang kurang laku diterbitkan oleh penerbit mayor, maka saya pun beralih ke indie. So, buat para penulis newbie. Apa motivasimu pengin menerbitkan buku secara indie? Pengin punya buku? Iyalah, itu pasti alasan utamanya. Tapi, please, jangan tergesa-gesa. Jangan hanya karena 'pengin buru-buru punya buku'. Sungguh, kamu bisa menyesal nanti. 2. Target pasar harus kamu kuasai Kalau penerbit mayor, biasanya mereka sudah punya pasar sendiri. Apalagi yang sudah bertahun-tahun berdiri. Mereka sudah berjuang keras untuk membangun massanya. Bagaimana dengan kamu? Berapa banyak temanmu? Berapa banyak followermu? Berapa banyak komunitas yang kamu ikuti? Berapa banyak pembaca blogmu kalau kamu punya blog? Berapa luas pergaulanmu? Karena, target pasar penulis indie merely terbatas pada teman-temanmu sendiri, saudaramu, keluargamu. Circle-mu. Itu saja, kamu mesti sadar juga. Bahwa nggak semua temanmu akan membeli bukumu. Kadang, saat kamu sedang promosi bukumu, mereka akan kasih tanggapan luar biasa. Mereka kasih jempol, likes, dan komen dengan antusias. "Keren, gan!" "Super!" "Hebat! Selamat ya!" Tapi, apakah mereka akan membeli? Belum tentu. Bisa saja mereka malah minta gratis. Pahit ya? Iya. Bisa jadi mereka hanya sekadar menyemangatimu, memberikan pujian, atau basa-basi. Tapi, buat beli bukumu, ya itu tergantung isi dompet mereka atau kebutuhan mereka. Nggak ada yang bisa tahu kan? So far, saya sudah mengamati. Buku yang dikerjakan keroyokan memang punya peluang laku lebih banyak, karena semua penulis yang terlibat akan jadi marketing. Dan karena circle-nya bisa berbeda-beda, itu berarti bisa sedikit mendongkrak penjualan. Penjualan novel kolab saya sama Orin jauh lebih baik ketimbang penjualan buku kumpulan flashfiction saya, Penyihir-Penyihir di Manik Mataku. Jelas. Orin kan punya circle sendiri, saya juga punya circle sendiri. Meski kadang ya teman Orin teman saya juga. Tapi yang kenalan sendiri-sendiri lebih banyak. Sehingga kami bisa berbagi deh. Lalu, apakah nggak mungkin ada pembeli buku dari luar circle penulis? Ya, ada. Tapi berapa persen, saya nggak bisa memastikan. Buku mayor tertolong karena kan masuk ke jaringan toko buku, baik offline or online, pun dijual dalam versi ebook. Buku indie? Mostly nggak beredar di toko buku, offline maupun online. Yang jualan ya penulisnya sendiri. Dan, penerbitnya, kalau memang penerbitnya menyediakan marketing. Ada juga yang enggak. Tapi, bukankah penerbit akan membantu promosi? Iya dong. Itu juga kewajiban mereka. Ikut mempromosikan bukumu. Ya jelas! Kalau bukumu banyak yang beli, mereka juga seneng kok. Beneran. Yakinlah, mereka berusaha semaksimal mungkin. Tapi, sebenarnya, marketing buku indie bisa dibilang sebagian besar tergantung pada si penulis. Dari semua pembeli bukumu, bisa dibilang pembeli yang didapatkan oleh penerbit itu hanya sekitar 10%-nya. 3. Butuh modal Jika di penerbitan mayor, kamu tinggal menunggu DP royalti dan royaltinya sendiri setelah akan atau selesai diterbitkan, maka di penerbitan indie, kamu mesti punya modal dulu. Ada beberapa penerbit indie yang memang mensyaratkan jumlah tertentu, tapi kayak kamu hanya perlu membeli proof cetak aja untuk meng-go live-kan bukumu di website mereka. Berapa harga proof cetaknya? Sesuai dengan harga buku yang bisa kamu tentukan sendiri. Di Stiletto Indie Book, misalnya, ada paket-paket dengan harga tertentu yang ditawarkan, yang bisa dipilih sesuai bujet kita. Di dalamnya ada berbagai fasilitas, seperti sudah termasuk jasa proofreading juga ada bukti terbit. Yang mana yang lebih bagus? Ya, masing-masing ada plus minusnya. Sesuaikan saja dengan kebutuhanmu. Di nulisbuku, misalnya, memang kamu hanya perlu 'membeli' proof cetak saja. Tapi mereka juga menyediakan jasa penyediaan ISBN, juga ada biaya marketing yang bisa kamu minta dengan tambahan biaya. Di penerbit indie yang lain, mungkin kamu harus membayar lebih mahal, tapi misalnya, sudah termasuk ISBN, promosi, bukti terbit, juga beberapa hal lainnya. Jadi, memang kamu mesti mempertimbangkan baik-baik, mau diterbitkan di mana bukumu itu. Image via Xterra Web 4. Baca Term & Condition atau MoU dengan saksama Inilah yang selalu menjadi kesalahan kita. Malas baca. Ya gitu deh. Pengin jadi penulis sukses, tapi enggan membaca. So typical hm? Padahal Term & Condition atau MoU itu penting. Di situ akan ada berbagai aturan penerbit yang harus kamu pahami dan patuhi. Kok harus dipatuhi penulis? Ya iyalah, that's how it works. Setiap penerbit kan punya aturan sendiri-sendiri. Meski kita penulis adalah customer, ya kita wajiblah mengikuti peraturan dan memahami kondisi penerbit. Kalau nggak cocok gimana? Ya, nggak papa. Bisa nego kok, atau kalau mentok ya, pindah penerbit aja Ya, kalau ada beberapa dalam poin di Term & Condition atau MoU itu dirasakan merugikanmu, kamu bisa kok menanyakannya pada pihak penerbit. Tanyakan dengan baik-baik, lalu ceritakan kondisimu dengan sebenar-benarnya. Ingat ya, semua bisa kok dibicarakan baik-baik. Nggak perlu nyolot, apalagi pakai saling mengancam. Nay nay nay. Membaca Term & Condition atau MoU dengan saksama ini penting, agar kita tahu lebih jelas di awal. Akan lebih baik memperjelas semuanya di awal, ketimbang ngomel belakangan. Perhatikan beberapa hal yang seharusnya ada dalam Term & Condition atau MoU Perhitungan royalti Berapa lama proses penerbitan Apa saja fasilitas yang kamu dapatkan Bagaimana sistem pelaporan penjualannya Bagaiman prosedur pembelian Pokoknya, perhatikan dengan saksama dan segera tanyakan jika ada yang tidak kamu mengerti. 5. Perhatikan desain bukumu So, saya mau sedikit cerita pengalaman saya sebagai seorang pembaca dan penimbun buku. Tahu kan, kalau di bagian belakang buku itu ada sinopsis, atau yang sering disebut blurb? Saat saya datang ke toko buku, atau lihat-lihat buku di toko online, atau lagi mantengin promosi buku di media sosial penerbit, sering banget saya menemui blurb yang nggak bisa menggambarkan isi buku dengan baik. Blurb hanya diisi dengan kalimat-kalimat indah, penggalan atau kutipan buku, atau endorsement yang kurang menggambarkan isi buku secara jelas. Bagaimana orang bisa tertarik membeli kalau nggak bisa membayangkan bukunya seperti apa. Juga perhatikan desain covernya juga. Really. Ini sangat penting. Jika kamu nggak bisa menceritakan 'isi' bukumu melalui blurb, maka kamu bisa melakukannya melalui cover. Saya akui, bikin blurb itu susah. Banget. Saya sendiri juga melakukan kesalahan yang sama sebenernya. Menulis blurb yang kurang representatif. So, saya sarankan, jangan sampai kamu melakukan kesalahan yang sama. 6. Royalti Tentang royalti ini cukup sensitif ya, soalnya ini masalah uang. Uang memang selalu jadi hal paling bikin riweuh deh di mana-mana. Jadi, tanyakan sejelas-jelasnya di awal mengenai royalti ini. Berapa persen yang kamu dapatkan? Berapa harga bukumu? Kapan royalti akan diberikan, dan bagaimana prosedurnya? Itu adalah 3 pertanyaan yang harus bisa terjawab terkait royalti buku. Pahami penjelasan dari penerbit ya. Tanyakan dan konfirmasikan ulang, jika kamu nggak ngerti. Mendingan dilabeli penulis banyak nanya ketimbang kita nggak jelas deh. Pihak penerbit pasti mau kok menjelaskan dengan sabar dan sampai kita benar-benar puas dengan penjelasan mereka. Yang penting, jangan sungkan untuk bertanya dan mengomunikasikan apa maumu pada penerbit. Kadang komunikasi ini memang susah sih. Namanya juga berurusan sama banyak pihak ya. Jangankan penulis sama penerbit. Suami istri loh, kadang ya nggak nyambung. *curhat, Mak?* So, sebelum kamu terjebak euforia karena bisa menerbitkan bukumu sendiri, sebaiknya kamu memang harus paham dan tahu dulu faktanya. And, just remember, di balik admin kontak penerbit indie, itu adalah orang-orang biasa yang suka bikin salah juga. Sampai di batas tertentu, kamu harus memakluminya. Semoga nggak menyurutkan semangatmu dalam menulis dan menerbitkan bukumu sendiri ya. Tulisan ini bukan ditulis dalam kapasitas saya sebagai karyawan di sebuah penerbitan. Sekadar berbagi aja sih, apa yang pernah saya lakukan sebagai seorang penulis yang, somehow, saya lebih nemu kepuasan saat buku saya terbit secara indie. Karena ya, itu buku akhirnya gue banget gitu. Saya menerbitkan buku indie biasanya karena alasan Pengin jadiin satu tulisan saya, sebagai dokumentasi gitu. Kebanyakan buku indie saya terutama yang antologi itu royaltinya malah justru didonasikan. Jadi tujuan saya memang untuk berdonasi. Sebagai portfolio Pelajaran yang saya dapatkan selama beberapa tahun ini sering menerbitkan indie adalah kalau menerbitkan buku indie demi mendapatkan uang apalagi yang banyak ... well ... kamu harus seistimewa Dee Lestari atau Ika Natassa. Kalau cuma kayak saya gini ya ... lebih besar pasak daripada tiang sih. Wakakakk. Nah, semua hal di atas memang perlu kamu tahu dulu, sebelum kamu mulai memutuskan untuk menerbitkan buku secara indie. So you can "play" along, semua berjalan lancar. Kamu jelas dengan kondisi penerbit, dan penerbit juga tahu apa maumu Semoga bermanfaat. Selamat nulis! Semangat! Writingis Amazing (WA), Jejak Publisher melejitkan namanya sebagai penerbit indie di Indonesia. Kemunculannya sejak tahun 2016 lalu bahkan sudah dilengkapi dengan badan hukum, sehingga aman dijadikan alternatif menerbitkan karya. Bagi kalian yang ingin menerbitkan karya dipenerbit ini, sebaiknya terlebih dahulu benar-benar benahi tulisan kalian. Jakarta - Toko buku kekinian menawarkan opsi yang beragam, baik dari kategori buku hingga jadi destinasi membaca yang menyuguhkan sajian dan kopi di dalamnya. Transformasi wajah toko buku ini beriringan dengan pendekatan anak muda juga melanjutkan asa membaca. Kecintaan pada membaca tak jarang menjadi pemacu semangat untuk hadirnya toko buku berkonsep menarik. Salah satunya Warung Sastra, sebuah toko buku yang berlokasi di kawasan Karangwaru, Kecamatan Tegalrejo, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Armuji Mediasi 30 Penerbit dengan Toko Buku di Surabaya soal Tunggakan Pembayaran Toko Buku Gunung Agung Beri Diskon sampai 70 Persen Jelang Ditutup Akhir 2023 Terus Merugi, Manajemen Toko Buku Gunung Agung Bakal Tutup Seluruh Outletnya Warung Sastra didirikan oleh Ari Bayu Panuntun dan Andrean Ilham Listiady. Di toko buku ini, pengunjung dapat membeli dan membaca buku sembari ngopi atau menyantap penyetan. "Salah satu visinya memperkenalkan sastra dunia karena kalau ke toko buku mayor, biasanya penulis yang dipromosikan nama-nama besar dan sudah best seller, kalau gitu bagaimana kita bisa memperkenalkan karya sastra dunia," kata Bagus saat dihubungi Kamis, 11 Mei 2023. Sebagai lulusan Sastra Prancis Universitas Gadjah Mada, Bagus menyebut ingin memperkenalkan karya sastra Prancis yang bermutu dan bisa lebih dikenal masyarakat. Semangat itu pula yang akhirnya jadi ciri khas Warung Sastra hingga kini. Buku-buku di Warung Sastra awalnya memang didominasi buku sastra. Seiring berjalannya waktu, Andrean Ilham Listiady menyebut, mereka juga tetap mengamati isu-isu lain, seperti psikologi, filsafat, sampai sejarah ditawarkan ke pembaca. "Karena dengan ke arah isu-isu tersebut kita juga mendekatkan ke pembaca pemula, karena mereka minatnya macam-macam tak hanya sastra, ternyata juga senang buku filsafat, psikologi populer, ada yang suka sejarah dunia dan Indonesia," ungkap Andre. Bagus melanjutkan, buku-buku yang cukup laris di tema filsafat, politik, sejarah dan agama. "Bisa dibilang karya tema filsafat salah satu yang paling laris," jelasnya. "Kami rutin sampai sekarang kalau ada bacaan ringan dalam setiap tema selalu kami rekomendasikan via medsos kami, terutama TikTok, Instagram, dan Twitter," kata itu, Andre mengungkapkan bahwa Warung Sastra didominasi juga dengan deretan buku dari penerbit indie. "Mungkin sekitar 70 persen, sisanya didominasi dari penerbit mayor seperti Gramedia dan Bentang Pustaka," katanya. Ia menjelaskan pembaruan buku di toko buku ini mengikuti penerbit. "Kita ngikut penerbit biasanya setiap bulan masing-masing penerbit rata-rata bikin buku baru 1-2 judul, di situ pembaruan buku baru, apa yang hot release di dunia perbukuan," katanya. Di sisi lain, Andre menjelaskan soal pengunjung Warung Sastra yang variatif. "Rata-rata mereka memang mencari tempat buat nongkrong, imbasnya adanya dari Instagram benar-benar mau beli buku, kalau masyarakat sekitar penasaran ada penyetan dan kopi akhirnya berkunjung. Beli makan dan kopi dulu setelah itu tanya-tanya buku di sini dijual atau tidak," ungkapnya. Bagus menambahkan, "Toko buku buku offline dari Februari 2020, tapi fokusnya ke toko buku. Pertengahan tahun lalu kami buka konsep baru bikin Warung Sastra dan konsep warung itu bisa juga. Bikin kafe dengan tagline 'Warung Sastra, buku, kopi, penyetan'." Bagus menyebut bahwa keluarganya dan Andre memiliki latar belakang barista dan jual penyetan. Mereka pun memutuskan untuk menggabungkan keduanya menjadi satu di Warung Sastra. "Jadi kalau ke Warung Sastra itu ada toko buku dan perpustakaan, teman-teman juga bisa ngopi berbagai varian kopi ala kafe dan ada menu penyetan juga," tuturnya. Dikatakan Bagus, Warung Sastra juga punya visi untuk menjadi tempat pertemuan kegiatan sastra di Yogyakarta, mengingat komunitas sastra di sana cukup banyak. Ada acara BaKar atau Bahas Karya, mengundang penulis-penulis baru untuk karya dibaca bersama. Kedua, acara MaBu atau Malam Buku, menjadi wadah bagi penerbit-penerbit indie yang baru menerbitkan buku agar buku bisa BookshopPOST Bookshop di Pasar Santa, Jakarta Selatan. dok. Instagram/post_santaAda sederet toko buku yang wajib dikunjungi ketika berada di Jakarta, salah satunya, POST Bookshop yang berlokasi di upper floor Pasar Santa, Jakarta Selatan. Toko buku indie ini didirikan oleh pasangan penulis, Teddy W. Kusuma dan Maesy Angelina. Kehadiran POST sendiri tidak lepas dari kecintaan Teddy dan Maesy dalam hal membaca buku dan menulis. Keduanya punya cita-cita untuk memiliki toko buku suatu hari nanti hingga pada 2014, keinginan mereka berhasil terwujud. "Sebagai pembaca, kita selalu haus akan bacaan-bacaan yang lebih luas dan alternatif. Senang kalau bisa ketemu pilihan-pilihan tambahan terhadap karya toko buku," kata Teddy saat dihubungi Kamis, 11 Mei 2023. Teddy menjelaskan bahwa pada 2014 lalu, toko buku online belum begitu banyak sehingga pilihan jatuh dengan membeli buku ke toko buku di mal. Saat itu pula, kata Teddy, buku-buku bahasa Indonesia memang ruang untuk menyajikan buku pilihan dari penerbit-penerbit kecil atau indie, belum ada. "Kami memang senang dengan banyak karya dari penerbit-penerbit independen Indonesia. Selain itu, kami juga pembaca bahasa Inggris ingin mendapat pilihan tambahan buku bahasa Inggris," terangnya. Teddy menyebut karya-karya penerbit indie tidak selalu bisa cocok dengan toko buku mayor. Hal tersebut merujuk dari sisi jumlah oplah dan topik buku yang BookshopPOST Bookshop di Pasar Santa, Jakarta Selatan. dok. Instagram/post_santaJelang 9 tahun usia POST, Teddy menjelaskan ada beberapa hal yang dirasanya berbeda. Salah satunya tentang pengunjung yang kian beragam. Awalnya didominasi anak muda mahasiswa atau pekerja muda Jakarta, kini banyak keluarga yang turut berkunjung. "Ini satu yang menyenangkan karena yang kami ingin menyajikan pengalaman ke toko buku fisik sebagai acara rekreasi keluarga juga. Banyak pembaca ingatan masa kecilnya pergi ke toko buku adalah ingatan yang menyenangkan," ungkapnya. Selain itu, Teddy menyebut selama pandemi mereka lebih mengaktifkan lagi jualan online. Juga, buku-buku tersebut banyak menjadi hadiah personal kepada orang-orang terkasih. "Kami bisa membuat online lebih aktif. Memang toko buku untuk bisa bertahan harus kombinasi antara kegiatan offline maupun online," jelas Teddy. Tak hanya menjual buku, POST juga menjadi bertindak sebagai penerbit dan telah menerbitkan delapan judul buku. "Termasuk beberapa di antaranya buku yang sudah bisa dibaca pembaca anak-anak, salah satu buku terbitan kami Na Willa," tambahnya. Saat ini, setidaknya sudah ada sekitar 700-800 judul buku di POST dengan buku bahasa Inggris dan berbahasa Indonesia jumlahnya masing-masing 50 persen. Terkait pembaruan, Teddy mengatakan setiap minggu selalu ada buku baru. "Kalau dari luar kami kebetulan ada batch pengiriman baik itu buku baru dan buku lama yang perlu restock. Setidaknya dalam dua minggu pasti ada judul baru," populer di Indonesia dari masa ke masa sudah berkembang sebelum era kemerdekaan. Dok Yasni* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan. PenerbitAnak Kita; Penerbit Anak Kita adalah salah satu penerbit yang memberikan perhatian kepada para penulis yang hobi menulis nakah untuk anak. Penerbit anak kita berada di l. Haji Montong No. 57 Ciganjur Jagakarsa Jakarta Selatan. Adapun naskah yang diterima oleh Penerbit Anak Kita salah diantranya cerita inspiratif, komik, dan nakah anak
Mengenal Penerbit MayorMengenal Penerbit IndiePenerbit Self Publishing, Apa Itu?Perbedaan Penerbit Indie dan Self Publishing1. Naskah2. Legalitas Perbedaan Penerbit Indie, Self Publishing dan Mayor – Ada berbagai macam jenis percetakan yang bisa Anda pilih untuk menerbitkan buku Anda. Mulai dari percetakan mayor, percetakan indie, hingga self publishing. Ketiga jenis penerbit ini memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Sebagai penulis pemula sebaiknya Anda memilih yang mana? Nah, sebelum menentukan pilihan penerbit, ketahui masing-masing perbedaan penerbit indie, self publishing dan mayor. Salah satu kebingungan yang sering ditemukan adalah tidak tahu perbedaan penerbit indie dan mayor. Untuk memahami semua perbedaannya, simak penjelasan lengkapnya. Mengenal Penerbit Mayor Sebelum memasuki pembahasan perbedaan penerbit indie dan self publishing, tidak ada salahnya kita juga mengulas sedikit tentang penerbit mayor. Dilansir dari blog bukupedia, penerbit mayor adalah perusahaan penerbitan yang skalanya sudah besar. Umumnya, penerbit mayor sudah punya nama brand yang besar, dari segi modal juga tidak main-main. Biasanya, penerbit mayor sudah memiliki manajemen yang bagus. Hal ini bisa dilihat dengan adanya post-post tanggung jawab yang sesuai dengan bidangnya, misalnya layouter, desainer, editor, produksi, dan marketing. Karena sudah terstruktur dan mayor, maka ketika kita menerbitkan buku di penerbit mayor nanti secara otomatis sudah memiliki ISBN. Tugas penerbit akan melakukan sorting naskah yang dikirimkan oleh para penulis buku, kemudian mengkaji dan riset naskah itu, hingga memasarkannya ke jaringan toko buku yang dimilikinya. Ketika Anda memilih penerbit mayor, tugas Anda hanya menyetor naskah buku yang kamu punya. Masalah editing, layout naskah, bikin desain cover, sudah jadi tanggung jawab penerbit. Sekilas Anda hanya disuruh untuk menerbitkan naskah saja. Mudah bukan? Tetapi sayangnya tidak semudah itu. Ada hal-hal yang perlu diperhatikan juga saat Anda memilih penerbit mayor, perbedaan penerbit indie dan self publishing. Memilih penerbit mayor tetap saja ada sisi negatifnya, yaitu membutuhkan waktu yang lama untuk menerbitkan buku. Ketika Anda mengirim naskah ke penerbit mayor, jangan harap naskah Anda langsung diterima dan dicetak. Jangankan diterima, respon dari mereka pun belum tentu mengiyakan naskah Anda. Ya, Anda harus menunggu lama, apalagi jika Anda penulis pemula. Karena selain harus bersaing dengan naskah-naskah lain, juga pihak penerbit perlu melihat naskah Anda apakah layak diterbitkan atau tidak. Tak jarang penulis yang kecewa karena sudah menunggu lama ternyata naskahnya ditolak penerbit dengan berbagai alasan. Jadi kalau Anda ingin menerbitkan naskah ke penerbit mayor perlu kesabaran dan punya cara supaya naskah bisa diterima. Baca Juga Cara Menerbitkan Buku di Penerbit Deepublish Percetakan Buku Deepublish, Mengedepankan Kualitas Mengenal Penerbit Indie Melihat dari peluang menerbitkan buku di penerbit mayor yang tidak mudah, jangan berkecil hati. Anda tetap bisa berkarya melalui jalur lain, salah satunya dengan terjun ke penerbit independen atau penerbit indie, atau penerbit mandiri. Penerbit Indie penerbit independen atau penerbit mandiri adalah penerbit yang menjadi alternatif penulis untuk menerbitkan buku atau menjadi media yang lain yang dilakukan penulis naskah bukan dari penerbitnya. Walaupun ini memiliki persentase pasar yang sangat kecil bila dibandingkan dengan penerbit pada umumnya dalam hal penjualan, tetapi ini telah hadir menjadi sebuah bentuk baru. Penerbit indie ini sering dikaitkan dengan penerbit mayor sekaligus self publishing, namun sebenarnya terdapat perbedaan penerbit mayor dan indie itu sendiri. Apa saja perbedaan penerbit mayor dan indie? Penerbit indie dikenal dengan prosesnya yang cepat, kebalikan dari penerbit mayor. Anda tidak perlu menunggu naskah diseleksi dulu, karena sebagian besar penerbit indie memang tidak perlu menyeleksi secara rinci naskah Anda. Asal naskahnya tidak membahas seputar SARA, biasanya naskah bisa langsung ke proses selanjutnya. Selain itu, penerbit mayor dan indie adalah soal segi biaya. Kalau di penerbit indie ini untuk menggunakan jasa layouter, editor, desainer, ada biayanya, sedangkan penerbit mayor yang semuanya sudah ditanggung oleh mereka. Selain dari segi waktu dan biaya, perbedaan penerbit mayor dan indie terletak pada jumlah cetak, perolehan ISBN, distribusi buku. Banyak sedikitnya buku yang akan dicetak tergantu dari modal yang kita miliki. Menerbitkan buku di penerbit indie, nantinya tidak akan mendapatkan jasa ISBN. Bagi yang ingin ISBN maka ada biayanya juga. Tapi ada pula penerbit indie yang sudah menyediakan segala fasilitas tersebut secara paket. Kemudian masalah distribusi naskah, penerbit indie tidak akan mendistribusikan ke jaringan toko buku. Paling maksimal melalui media-media yang dimilikinya seperti website, media sosial. Nantinya penulis lah yang harus lebih aktif dalam mempromosikan bukunya. Jika memilih penerbit indie, penulis harus keluar biaya sendiri untuk biaya cetaknya. Atau kadang ada penerbit indie yang sudah punya paket-paket penerbitan, nah penulis keluar biayanya pas itu saja. Ketika nanti bukunya sudah jadi, penulis bisa langsung menjualnya dan keuntungannya tidak akan dibagi ke penerbit lagi. Penerbit Self Publishing, Apa Itu? Umumnya, orang menganggap sama antara penerbit indie dan self publishing. Akan tetapi, kedua jenis penerbit tersebut berbeda. Untuk memahami penerbit indie dan self publishing, mari pahami dulu definisi penerbit self publishing. Self publishing adalah cetak buku sendiri tanpa bantuan penerbit. Secara bahasa dapat dipahami dengan penerbitan mandiri atau menerbitkan buku sendiri. Sehingga tanggung jawab ada di tangan si penulis itu sendiri, mulai proses menulis naskah, editing, desain cover, tata letak buku, permohonan ISBN dan barcode di Perpustakaan Nasional RI oleh dirinya sendiri. Untuk beberapa opsi, penulis juga menerbitkan buku yang dibuatnya sendiri dan pemasaran sendiri. Tapi tidak semua seperti ini, ada beberapa hal yang biasanya bisa dikerjasamakan dengan penerbit indie sehingga Anda tidak benar-benar melakukannya sendiri. Baca Juga Cetak Buku Self Publishing Tidak Ribet, Inilah Cara Menerbitkan Buku Sendiri Self Publishing [Ebook] Panduan Self Publishing, Cocok Bagi yang Ingin Menerbitkan Buku Sendiri Perbedaan Penerbit Indie dan Self Publishing Perbedaan penerbit indie dan self publishing sebenarnya ada pada proses pembuatan. Berikut ini rincian perbedaan penerbit indie dan self publishing yang bisa Anda pelajari. 1. Naskah Perbedaan penerbit indie dan self publishing pertama yakni dari segi naskah. Naskah menjadi hal paling penting ketika Anda ingin membuat suatu karya buku. Jelas kan, kalau tanpa naskah, kita mau cetak buku apa? Namun pada proses setelah naskah jadi, Anda akan dihadapkan oleh opsi apakah mengirimnya ke penerbit mayor, penerbit indie, atau ya sudah cetak saja sendiri? Ketika Anda memilih untuk ke penerbit mayor, Anda harus siap dengan kemungkinan-kemungkinan yang sudah dijabarkan pada poin sebelumnya. Sementara jika Anda mau ke penerbit indie, sama. Anda juga perlu mengirimkannya ke pihak penerbit. Bedanya, naskah Anda tidak akan dikoreksi berlama-lama. Anda bisa konsultasi menulis naskah bahkan secara gratis. Melalui penerbit indie, naskah Anda masih akan dikoreksi oleh editor. Hal ini menjadi keuntungan bagi Anda yang masih memulai debut sebagai penulis. Kesalahan-kesalahan penulisan bisa diantisipasi pada proses ini. Sementara self publishing, namanya juga mandiri. Maka Anda harus siap untuk mengedit naskah Anda sendiri. Anda pun tidak perlu repot-repot untuk mengirimkan naskah ke penerbit. Jika Anda sudah yakin dengan naskah, Anda bisa langsung ke percetakan untuk memperbanyak naskah Anda. 2. Legalitas Perbedaan penerbit indie dan self publishing juga bisa dapat dilihat dari legalitasnya. Ketika Anda memilih penerbit indie, setidaknya Anda tidak perlu pusing mengurus kelengkapan dokumen penerbitan seperti self publishing yang perlu mengurus penerbitan pribadi. Yang tadinya sudah pusing urusan naskah, self publishing membuat Anda menambah waktu untuk mengurus legalitas buku Anda dan penerbitnya. Sementara jika Anda bekerjasama dengan penerbit indie, setidaknya Anda dibantu untuk legalitas sampai pengurusan ISBN. Memang tiap penerbit indie berbeda-beda, ada yang menambah tarif dalam mengurus ISBN adapula yang tidak. Penerbit Deepublish adalah pilihan tepat untuk Anda yang tertarik menerbitkan buku secara mandiri. Penerbit Deepublish memberikan fasilitas pembuatan ISBN tak berbayar, konsultasi gratis, hingga royalti yang lumayan. Dengan menjadi penulis penerbit buku Deepublish, buku Anda kami terbitkan secara gratis. Anda cukup mengganti biaya cetak. Khusus penerbit Deepublish, selain penulis buku yang menjual karya bukunya. Penerbit Deepublish juga ikut membantu memasarkan buku penulis. Hasil penjualan buku yang Deepublish jual, akan disetorkan kepada penulis. Penjualan buku Deepublish fokus diterbitkan melalui marketplace. Itulah beberapa perbedaan penerbit indie, self publishing dan mayor. Keputusan memilih penerbit yang mana tetap bergantung pada Anda. Sebaiknya Anda ketahui dulu apa tujuan Anda dalam menulis buku. Jika Anda mengejar sebuah prestige, maka penerbit mayor adalah pilihannya. Sementara jika Anda menerbitkan buku karena passion, maka Anda bisa memilih penerbit indie. Ingin memiliki buku sendiri? Mari bergabung bersama kami dan daftar menjadi penulis buku. Baca Juga 10 Persiapan Cara Menerbitkan Buku Sendiri Hingga Terbit Kuasai 7 Keuntungan Menerbitkan Buku Secara Self Publishing Biaya Menerbitkan Buku di Penerbit Deepublish Sesuai Jenis Buku